Oleh: Alexander Royce *)
Dalam beberapa bulan terakhir, pemerintah semakin memperlihatkan komitmen nyata terhadap kesehatan anak-anak Indonesia melalui perluasan program Cek Kesehatan Gratis (CKG). Program ini bukan sekadar aksi simbolis, melainkan langkah strategis dalam membangun ketahanan kesehatan nasional yang berkelanjutan.
Sejak diluncurkan awal Februari dan digulirkan melalui CKG Sekolah mulai Agustus 2025, program ini telah mencatat capaian gemilang. Hingga 1 Agustus, lebih dari 16 juta warga telah mengikuti pemeriksaan kesehatan. Pemerintah menargetkan cakupan yang jauh lebih ambisius: sekitar 58,2 juta warga hingga akhir Agustus 2025, dengan total penerima manfaat mencapai 281 juta penduduk. Dari jumlah itu, sekitar 53,8 juta siswa di lebih dari 282 ribu satuan pendidikan seperti SD, SMP, SMA, madrasah, dan sekolah rakyat akan mendapatkan layanan.
Tujuan mulia ini berakar pada visi Presiden Prabowo Subianto untuk membangun sumber daya manusia unggul sejak dini, sekaligus mendorong paradigma pencegahan (preventif) menggantikan pola lama: sakit baru berobat. Pemerintah menyadari bahwa biaya kesehatan akan semakin berat bila fokus hanya pada pengobatan. Karena itu, CKG hadir sebagai upaya sistematis untuk memastikan deteksi dini, edukasi kesehatan, dan rujukan cepat bila ditemukan masalah.
Di tingkat daerah, realisasi program juga terlihat menjanjikan. Dinas Kesehatan Bali menargetkan cakupan hingga 740 ribu siswa selama 2025, atau sekitar 36% dari total penduduk Bali. Sementara itu, di DKI Jakarta, cakupan diperluas agar tidak hanya anak sekolah formal yang mendapat layanan, tetapi juga anak-anak yang putus sekolah. Langkah ini memberi pesan kuat: kesehatan adalah hak setiap anak, tanpa diskriminasi.
Menurut dr. Hikari Ambara Sjakti, Sekretaris Umum Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (PP IDAI), program ini adalah peluang emas untuk mendeteksi masalah kesehatan sejak dini. Ia menyoroti pentingnya memperhatikan aspek malnutrisi, anemia, gangguan penglihatan dan pendengaran, hingga penyakit kronis yang sering luput dari perhatian. Menurutnya, pemerintah juga perlu memastikan ketersediaan alat sederhana seperti timbangan, alat ukur tinggi badan, hingga alat deteksi hemoglobin agar pemeriksaan berjalan efektif. Ia mengingatkan, anak yang putus sekolah juga harus mendapat prioritas karena mereka sama rentannya dengan anak-anak lain. Pandangan ini sejalan dengan komitmen pemerintah untuk memperluas jangkauan layanan hingga komunitas marginal.
Sementara itu, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB), Rini Widyantini, menegaskan keseriusan pemerintah dalam menjamin kualitas layanan. Dalam kunjungannya ke Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) Kramat Pela, ia melihat langsung pelaksanaan CKG dan memastikan alur pelayanan berjalan baik. Menurutnya, keterlibatan aparatur negara di lapangan menjadi bukti nyata bahwa reformasi birokrasi tidak hanya berhenti pada wacana, tetapi diimplementasikan untuk kepentingan publik. Rini juga menekankan pentingnya integrasi data kesehatan anak agar ke depan bisa menjadi basis kebijakan yang lebih presisi.
Di Provinsi Bali, I Gede Anom, selaku Kepala Dinas Kesehatan, menggarisbawahi optimisme daerah dalam menyambut program ini. Ia menyebut target 740 ribu siswa bukan hal kecil, namun dapat dicapai dengan dukungan sekolah, orang tua, serta tenaga kesehatan yang siap bekerja sama. Menurutnya, program ini akan membantu pemerintah daerah dalam menyusun peta kesehatan generasi muda Bali, sekaligus memperkuat upaya pencegahan penyakit menular maupun tidak menular sejak dini.
Selain capaian teknis, program CKG juga membawa dampak psikologis yang positif. Orang tua merasa lebih tenang karena anak mereka dipantau kesehatannya secara rutin. Guru pun mendapat informasi penting untuk mendukung proses belajar, karena kesehatan siswa berkaitan erat dengan konsentrasi dan prestasi di sekolah. Tidak kalah penting, anak-anak belajar sejak dini bahwa menjaga kesehatan adalah bagian dari gaya hidup sehari-hari.
Dari sisi teknologi, pemerintah juga memperkuat program dengan layanan digital. Melalui aplikasi “Satu Sehat” dan chatbot WhatsApp di beberapa daerah, data kesehatan bisa terekam secara cepat dan aman. Digitalisasi ini membantu mempercepat rujukan dan mencegah penumpukan administrasi di fasilitas kesehatan. Lebih jauh, data yang terkumpul akan menjadi modal penting untuk perencanaan jangka panjang, misalnya memprediksi kebutuhan gizi atau pola penyakit di suatu wilayah.
Dari sudut pandang ekonomi, program CKG merupakan investasi jangka panjang yang sangat strategis. Dengan mencegah penyakit sejak awal, pemerintah dapat menekan beban biaya kuratif yang selama ini menguras anggaran kesehatan. Anak yang sehat adalah aset bangsa: mereka tumbuh menjadi generasi produktif, kreatif, dan mampu bersaing secara global. Bahkan, deteksi dini penyakit genetik seperti thalassemia dapat menghemat biaya pengobatan besar di masa depan.
Masyarakat pun menyambut positif program ini. Testimoni orang tua siswa di berbagai daerah menunjukkan rasa syukur karena pemerintah hadir dengan layanan yang benar-benar terasa manfaatnya. Banyak di antara mereka yang sebelumnya kesulitan membawa anak ke layanan kesehatan rutin akibat faktor biaya maupun jarak. Kini, layanan datang langsung ke sekolah dan komunitas.
Program CKG tidak hanya sekadar program kesehatan, melainkan fondasi pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Dari Sabang sampai Merauke, dari sekolah elit hingga sekolah rakyat, pemerintah memastikan tidak ada anak yang tertinggal dari layanan kesehatan dasar.
*) Penulis merupakan Pengamat Sosial