DPR RI Putuskan Hapus Tunjangan, Waspadai Narasi Hoaks Pemicu Perpecahan

oleh -2 Dilihat
banner 468x60

Oleh : Zaki Walad )*

Keputusan DPR RI untuk menghapus tunjangan perumahan anggota dewan sejak 31 Agustus 2025 menjadi tonggak penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Langkah tersebut bukan sekadar kebijakan teknis, melainkan wujud nyata keseriusan parlemen dalam mendengarkan aspirasi masyarakat.

banner 336x280

Selama beberapa pekan terakhir ini, publik menyuarakan tuntutan 17+8 melalui berbagai aksi besar di banyak kota. Kemudian mengetahui hal tersebut, tentunya seluruh anggota parlemen tidak tinggal diam begitu saja.

Penghapusan tunjangan itu langsung menjawab salah satu dari tuntutan utama yang berkembang di tengah masyarakat, sekaligus sebagai bukti nyata keberpihakan seluruh anggota parlemen pada suara rakyat.

Tidak hanya itu, DPR RI juga menetapkan moratorium kunjungan kerja ke luar negeri sejak 1 September 2025. Kebijakan tersebut berlaku bagi seluruh anggota DPR, kecuali ketika harus memenuhi undangan resmi kenegaraan yang bersifat strategis. Dengan demikian, DPR menunjukkan keberpihakan kepada rakyat melalui penghematan fasilitas sekaligus penyelarasan langkah kelembagaan agar lebih transparan dan efisien.

Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad menegaskan bahwa keputusan tersebut menjadi bukti nyata parlemen tidak menutup mata terhadap suara rakyat. Menurutnya, penghentian tunjangan perumahan dan evaluasi fasilitas anggota dewan mencerminkan kesungguhan DPR dalam memperbaiki citra kelembagaan serta meningkatkan akuntabilitas. Tidak hanya tunjangan perumahan yang dipangkas, melainkan juga biaya komunikasi, transportasi, hingga fasilitas langganan yang dinilai terlalu besar.

Ketua DPR RI Puan Maharani memperkuat pesan yang sama. Ia menegaskan bahwa sejak akhir Agustus, tunjangan senilai Rp 50 juta per bulan resmi dihentikan. Keputusan tersebut diambil bukan semata karena tekanan publik, melainkan sebagai bagian dari transformasi DPR agar lebih terbuka, aspiratif, dan akuntabel. Puan menambahkan, lembaga legislatif kini berkomitmen memprioritaskan kualitas legislasi serta meningkatkan partisipasi publik dalam pembahasan undang-undang.

Kebijakan tersebut jelas menunjukkan respons positif DPR terhadap keresahan publik. Namun, di tengah langkah konkret yang sudah diambil, beredar pula narasi hoaks yang berpotensi menimbulkan kesalahpahaman.

Hoaks terkait isu DPR sering kali diproduksi secara provokatif, disebarkan melalui media sosial, dan dimanfaatkan untuk memicu kecurigaan publik. Kondisi ini menjadi tantangan baru yang tidak bisa dianggap sepele, karena penyebaran hoaks berpotensi memecah belah persatuan bangsa.

Anggota Komisi I DPR RI Farah Puteri Nahlia mengingatkan masyarakat untuk mewaspadai penyebaran informasi palsu, terutama pasca-kericuhan beberapa waktu lalu. Ia menekankan pentingnya bersikap kritis dengan cara memverifikasi informasi sebelum dibagikan.

Hoaks kerap kali menggunakan judul provokatif, narasi emosional, serta gambar atau video yang dimanipulasi agar publik mudah terhasut. Dalam situasi rentan, masyarakat sangat mungkin terjebak dalam arus informasi yang menyesatkan jika tidak mengedepankan sikap waspada.

Masyarakat perlu memahami bahwa hoaks memiliki daya rusak yang jauh melampaui sekadar kebohongan. Informasi palsu mampu memicu konflik sosial, memperbesar kesalahpahaman antarindividu, hingga menimbulkan kecurigaan antar kelompok.

Hoaks bahkan dapat memengaruhi opini publik, menciptakan gambaran negatif yang salah, dan pada akhirnya merusak stabilitas nasional. Penyebaran narasi semacam itu tidak hanya berimplikasi pada keresahan sosial, tetapi juga mengancam keutuhan bangsa.

Dalam konteks ini, literasi digital menjadi kunci. Masyarakat harus mampu mengenali ciri-ciri hoaks, mulai dari judul yang terlalu sensasional, sumber yang tidak kredibel, hingga narasi yang mengandung ajakan emosional.

Verifikasi fakta melalui media resmi, memeriksa keaslian gambar dengan pencarian terbalik, serta membaca keseluruhan isi berita sebelum mengambil kesimpulan adalah langkah sederhana namun penting untuk menangkal hoaks.

Upaya melawan hoaks juga memerlukan partisipasi aktif publik. Menahan diri untuk tidak membagikan informasi yang belum jelas kebenarannya adalah tindakan pencegahan pertama yang paling efektif.

Selain itu, konten palsu harus segera dilaporkan melalui fitur resmi di platform media sosial atau kepada otoritas terkait seperti Kominfo. Edukasi kepada keluarga dan lingkungan sekitar mengenai cara mengenali hoaks juga memiliki peran signifikan dalam menciptakan masyarakat yang lebih tangguh terhadap informasi menyesatkan.

DPR RI telah menunjukkan langkah maju melalui penghapusan tunjangan dan moratorium kunjungan luar negeri sebagai jawaban nyata terhadap aspirasi rakyat. Kini, masyarakat memiliki peran penting untuk menjaga momentum positif tersebut dengan tidak memberi ruang bagi hoaks dan provokasi. Ruang digital harus dijaga agar tetap sehat, bebas dari disinformasi, dan tidak dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang ingin merusak kebinekaan Indonesia.

Hoaks terbukti mampu menjadi pemicu perpecahan jika dibiarkan berkembang tanpa kontrol. Oleh sebab itu, setiap warga negara memiliki tanggung jawab moral untuk memverifikasi informasi, bersikap kritis, serta menolak menjadi bagian dari penyebaran narasi palsu. Dengan demikian, langkah DPR dalam mendengarkan rakyat akan benar-benar berbuah positif, sekaligus memperkuat persatuan nasional.

Momen penghapusan tunjangan ini seharusnya menjadi titik balik yang meneguhkan hubungan antara rakyat dengan wakilnya di parlemen. Kepercayaan publik hanya bisa dijaga jika kebijakan nyata berjalan beriringan dengan ketahanan masyarakat terhadap isu palsu.

Aspirasi telah dijawab, fasilitas sudah dipangkas, dan komitmen telah ditunjukkan. Saatnya publik ikut berkontribusi dengan menjaga kondusivitas, menolak provokasi, serta mengedepankan persatuan di atas segala kepentingan sempit. (*)

)* Penulis adalah kontributor Lingkar Khatulistiwa Institute

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *